Journey to the South

Reportase Ekspedisi Batas Negeri

3 – 18 Februari 2014

DSCN6665Hujan sering menyambangi pagi di bulan Februari. Sama seperti pagi hari saat kami, tim Ekspedisi Batas Negeri, bersiap meninggalkan tanah Jawa menuju Nusa Tenggara Timur (NTT). Hujan yang turun cukup deras sejak semalam membuat udara terasa lebih dingin dari biasanya. Udara yang dingin mengundang rasa kantuk. Kami memang belum tidur semalaman demi menyiapkan perlengkapan yang akan kami bawa, jadi wajar saja jika kami terkulai lemas di ruang tunggu Bandara Soekarno-Hatta saat menunggu keberangkatan.

Pukul 08.00 WIB pesawat bersiap lepas landas. Saya segera tertidur tidak lama setelah duduk di kursi penumpang. Penerbangan dari Jakarta ke Kupang memakan waktu cukup lama, terutama karena pesawat harus transit di Surabaya. Selama penerbangan, guncangan kerap kali terasa. Namun kantuk yang tidak tertahankan membuat saya menjadi tidak peduli lagi pada guncangan, saya hanya ingin tidur.

Dari jendela pesawat terlihat hamparan hijau, mungkin itu hutan. Kupang terlihat berbeda dari apa yang saya bayangkan: sebuah kota yang gersang dan panas. Pesawat mendarat dengan lancar, meskipun ada sedikit hentakan. Detik pertama menginjakkan kaki di tanah NTT terasa sangat asing tapi sekaligus akrab. Wajah-wajah timur dengan kulit coklat tua dan rambut hitam legam, mereka berbicara dengan nada yang meninggi di tengah kalimat. Ah, susah sekali mendeskripsikannya. Saat tengah menunggu jemputan dari staf Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BBKSDA) Kupang, saya mendengar percakapan kuli-kuli bangunan yang sedang merenovasi bandara Eltari Kupang. Wajah boleh sama legamnya dengan penduduk asli NTT, tapi bahasa mereka jelas jauh berbeda, rupanya mereka adalah orang Jawa.

Mobil jemputan datang, kami dibawa ke BBKSDA Kupang. Bangunan-bangunan rumah bertembok bata dan ruko berderet di sepanjang jalan, tidak berbeda dengan kota-kota lain di Jawa. Lagi-lagi apa yang saya lihat berbeda dengan yang saya bayangkan: sebuah kota dengan bangunan-bangunan kayu yang sudah tua. Mobil sempat melewati jembatan yang panjang, dibawahnya adalah jurang yang dalam dengan sungai di lembahnya. Itu adalah pemandangan yang aneh bagi saya.

Kami disambut dengan sangat baik di BBKSDA Kupang. Selain menyediakan transportasi untuk kami, Staff BBKSDA Kupang juga mengupayakan akomodasi selama di Kupang. Balai Pendidikan dan Latihan Kehutanan (BDK) Kupang menjadi tempat tinggal kami selama 2 malam. Rasanya menyenangkan sekali merebahkan badan di kasur setelah seharian melalui perjalanan yang panjang.

Sebenarnya ada banyak kekhawatiran yang menghantui kami, terutama masalah transportasi menuju Ndana. Cuaca yang buruk dan ketidakpastian alat transportasi yang akan kami gunakan menjadi tanda tanya besar:  apakah pihak TNI AL menyanggupi untuk mengantarkan kami hingga ke Ndana? Jika tidak, apakah kami tetap bisa menyeberang dengan kapal Pelni? Menurut kabar yang beredar, sudah seminggu kapal Pelni tidak beroperasi karena masalah ombak yang terlampau besar, lalu apakah kondisi ini akan segera membaik dan kami bisa menyeberang??? Pertanyaan besar itu segera terjawab saat kami ke Pantai Teddy dan tidak sengaja bertemu dengan awak Kapal Republik Indonesia (KRI) yang akan mengantarkan kami menuju Pulau Ndana. Ternyata pihak TNI AL menyanggupi dan telah membuat rencana yang matang untuk mengantarkan kami. Lega rasanya mendengar kabar itu. Dengan demikian, 14 anggota tim EBN dan Bapak Jamres, kepala resort Suaka Margasatwa Harlu yang mendampingi ekspedisi kami, siap bertemu dengan Pulau Ndana.

IMG_0220Kapal yang mengantarkan kami bernama KRI Singa. Sebuah kapal perang berwarna abu-abu gelap dengan panjang sekitar 60 meter dan dilengkapi berbagai macam peralatan yang saya sendiri tidak paham fungsinya apa. Kru kapal berjumlah 44 orang, mereka semua terlihat gagah mengenakan seragam loreng abu-abu. KRI Singa dan kru kapalnya meninggalkan kesan yang sangat mendalam bagi saya: keramahan kru kapal, cerita-cerita pengalaman hidup mereka, kemegahan KRI Singa, dan perjalanan 8 jam membelah lautan yang mengocok perut. Kapal nelayan telah menjemput kami,  membuat saya agak sedih saat harus meninggalkan KRI.

Dari kapal nelayan yang kami tumpangi untuk merapat ke Pulau Ndana, pikiran saya seperti kosong. Ada kelegaan dan rasa haru saat kapal nelayan melaju meninggalkan KRI. Di depan mata, Pulau Ndana dengan pantai berpasir putih dan laut biru terlihat seperti gambar-gambar yang ada di majalah traveling. Pulau ini hanya seluas 1250 Ha dan dihuni oleh hanya sekitar 30 orang anggota TNI AD dan TNI AL. Sore itu saat saya menginjakkan kaki di daratan Pulau Ndana, rasa bahagia membuat saya hanya bisa terdiam. Saya tiba di tanah yang dijanjikan.

Malam pertama di Pulau Ndana kami habiskan di Pos AL. Mata belum terpejam hingga lewat tengah malam, kami masih berdiskusi mengenai lokasi camp dan jalur yang akan digunakan untuk pengamatan satwa dan analisis vegetasi. Segera setelah diskusi selesai, kami jatuh tertidur. Namun baru beberapa jam memejamkan mata, kami kembali harus bersiap untuk pindah ke camp di pinggir danau merah.

Camp kami berada di dekat sungai putri, sekitar 100 meter dari bibir danau merah. Butuh waktu 45 menit menuju ke sana dari Pos AL. Camp dibangun di bawah rerimbunan pohon, ini untuk menghalau sengatan panas. 2 tenda doom untuk peralatan dan logistik, 1 tenda terpal untuk masak, dan 3 flysheet untuk tidur berdiri dalam waktu kurang dari 1 jam. Camp kami terlihat seperti sebuah kompleks perumahan yang sederhana dan rapih.

Jalur pengamatan yang direncanakan mengarah ke Utara dan Selatan dari camp. Jalur Utara ditutupi oleh vegetasi hutan pantai. Jalur ini hanya sepanjang 500 meter karena medan yang ditempuh cukup sulit. Pijakan di jalur ini berupa karang-karang tajam dan banyak lubang berdiameter sekitar 0,5 hingga 5 meter di sepanjang jalur, memaksa untuk memperpanjang jalur yang ada dikhawatirkan akan sangat berbahaya bagi tim. Vegetasi hutan pantai juga terdapat di jalur Selatan, berselang-seling dengan padang rumput. Jalur ini panjangnya 1 km dan cukup membingungkan, seringkali kami tersesat saat berada di padang rumput padahal kami membawa GPS.

DSCN6752Seminggu kami habiskan untuk pengamatan satwa dan vegetasi. Saya tidak mengerti banyak mengenai vegetasi di Pulau Ndana, banyak jenis-jenis pohon yang baru saya temui di tempat tersebut. Bapak Jamres membantu kami mengidentifikasi beberapa jenis pohon. Vegetasi yang unik di Pulau Ndana bagi saya adalah komunitas tumbuhan mangrove di sepanjang danau merah pertama dan kedua. Mangrove di tengah pulau adalah hal yang aneh menurut saya karena biasanya hanya ada di pinggir laut. Saya baru mengerti setelah mencicipi air danau, rasanya asin seperti air laut. Air di danau ini memang merupakan air laut yang terjebak di ceruk karang saat Pulau Ndana mulai menyembul dari dalam laut.

Burung sangat mudah diamati di Pulau Ndana. Mereka tidak merasa terganggu dengan kehadiran manusia, bahkan setelah saya mendekat hingga jarak 3 meter. Burung kipasan dada hitam paling sering menampakkan diri. Sayapnya berwarna coklat dengan merah bata di kepala dan punggung, kalung hitam menghiasi tubuh bagian depannya yang berwarna putih. Ekornya dinaik turunkan saat dia bermain di dahan, seperti gadis kulit putih bergaun oranye yang menari salsa. Ada pula cikalang kecil yang terbang bergerombol 4-30 individu. Di sore yang terang, mereka menjelajah angkasa menuju laut. Saya selalu kagum dengan gerak tubuhnya yang elok. Mereka mengenal angin dengan sangat baik, terbang serupa daun yang berguguran ditiup angin. Di danau, saya bisa mengintip si kaki rumbai kecil. Dia penyendiri yang jarang terlihat. Tubuhnya putih dengan sayap yang bercoret hitam dan garis tebal di mata yang juga berwarna hitam. Dia muncul dari balik batang mangrove, berenang dengan tenang. Banyak sekali burung yang ingin saya ceritakan di sini: si kehicap pulau yang ditangkap dengan jaring serangga saat terlelap tidur, ibu kokokan laut yang ketakutan saat kami mendekati sarangnya, si imut pipit zebra yang menggemaskan, paok laus misterius bersuara bagus, alap-alap sapi yang sering berdiri di kepala patung jenderal sudirman, burung madu matari berwarna serupa senja, burung-burung pantai yang mirip satu sama lain, dan banyak lagi. 66 jenis burung yang dijumpai di Pulau Ndana punya cerita masing-masing yang sulit saya ceritakan satu-persatu dalam tulisan.

Satwa lain juga membuat saya kagum. Suatu hari saat saya berjalan di padang savana menuju ke menara suar di ujung selatan pulau Ndana, saya bertemu dengan seekor rusa timor betina. Ia lari segera setelah menyadari kehadiran saya. Tubuhnya sebesar domba jantan berbulu lebat dengan kaki yang lebih jenjang. Dia berlari 7 langkah kemudian menghilang di balik tumbuhan tinggi. Saya tidak bisa berhenti menahan senyum setelah pertemuan itu, bahagia rasanya. Ada juga biawak timor berwarna hijau dengan totol di sepanjang punggung, panjang tubuhnya hanya sekitar 30 cm. Dia sangat tenang berada di genggaman teman-teman pengamat herpetofauna. Saya ingin bermain dengan dia, tapi saya terlalu takut. Jadi, saya hanya menghadiahi dia dengan elusan lembut di punggung dan kecupan ringan di kepala. Satwa-satwa di Pulau Ndana sangat mengagumkan, terutama karena saya belum pernah melihat mereka sebelumnya.

Seminggu berlalu dengan menyenangkan di camp, kecuali serangan nyamuk bersungut tiga hampir setiap malam saat kami mencoba terlelap. Kami mulai akrab dengan hujan yang sering datang tiba-tiba dan panas terik yang membuat tubuh gerah. Perbincangan yang tak pernah basi dan candaan sepanjang hari membuat saya tidak merasa bosan sama sekali, meskipun saya bertemu 14 orang yang sama setiap hari.

Di tengah terik matahari, kami meninggalkan camp menuju Pos AL, 2 malam terakhir di Pulau Ndana akan kami habiskan di Pos AL. Hujan yang suka datang tiba-tiba kembali menyapa saat kami mendekati akhir perjalanan. Kami menyambutnya dengan gembira dan bermain bersama seperti anak kecil. Kami berlari ke sana kemari merayakan hujan dan bersuka cita di pelataran patung Jenderal Sudirman. Sore harinya kami mengunjungi pantai dan pulau burung, tempat ratusan burung angsa batu cokelat menari menyambut malam. Lembayung senja, karang pulau burung, dan deburan ombak menutup sore itu dengan megah.

Hari terakhir diisi dengan upacara penutupan kegiatan EBN. Kalau biasanya anggota UKF sulit sekali melakukan upacara yang serius, kali ini kami dipaksa untuk serius. Bapak Agus, komandan di Pos AL, menjadi inspektur upacara. Bapak Jamres dan Bapak Yermi Pah (Kepala resort Taman Buru Pulau Ndana) turut menjadi peserta upacara bersama kami. Upacara harus berjalan dengan khidmat dan tidak ada kesalahan. Latihan diulang sampai 3 kali karena kami kurang cakap dalam melaksanakan upacara. Untung saja upacaranya berjalan dengan serius, meskipun ada sedikit kesalahan.

KRI Singa menjemput kami pagi keesokan harinya. Ada rasa berat meninggalkan Pulau Ndana. Saya terus bertanya-tanya dalam hati: apakah saya bisa berkunjung ke sana lagi? Ataukah itu menjadi perjalanan seumur hidup sekali? Setiap momen di Pulau Ndana menjadi sangat berarti, semoga ada kesempatan berkunjung lagi.

Lelah dan lega terasa saat kami kembali ke BDK Kupang. 2 hari di BDK Kupang kami gunakan untuk menyiapkan bahan presentasi hasil ekspedisi. Presentasi dilakukan oleh 8 anggota tim EBN, 6 anggota tim lainnya telah pulang lebih dahulu karena urusan kuliah. Kepulangan tersebut juga mengalami hambatan. Beberapa penerbangan terpaksa ditunda, termasuk penerbangan teman-teman kami, karena terjadi letusan Gunung Kelud. Untung saja penundaan hanya terjadi 1 hari sehingga teman kami dapat segera pulang.

Bahan-bahan presentasi telah siap, saatnya memamerkan hasil ekspedisi kepada segenap staff BBKSDA Kupang. Kami mempresentasikan segala sesuatu yang kita temukan di sana, termasuk mengemukakan rekomendasi untuk mengubah status konservasi Pulau Ndana sebagai Taman Buru menjadi Suaka Margasatwa. Saya memandang perubahan status ini sangat penting dilakukan demi menjaga populasi satwa yang hidup di Pulau Ndana, terutama Rusa Timor.

Di hari terakhir kegiata EBN, kami menyempatkan diri berkunjung ke penangkaran rusa timor dan kura-kura rote yang berada di bawah pengelolaan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kupang. Rusa-rusa menyambut kami dengan suara-suara aneh “hoooong hoooong”. Penangkaran tersebut sudah tua, namun masih terawat bersih. Kami tidak berlama-lama di penangkaran karena kami harus segera menuju bandara. Penerbangan kami dijadwalkan pukul 13.00 WITA, namun terjadi penundaan 2,5 jam. Mau tidak mau harus sabar menunggu dan menikmati saat-saat terakhir di tanah NTT. Saat pesawat lepas landas, rasa rindu pada Pulau Ndana muncul secara tiba-tiba. Momen-momen di pulau itu bisa saya putar kembali dalam ingatan dengan mudahnya. Ndana meninggalkan banyak kenangan dan pengalaman. Saya bermimpi tentang Pulau Ndana saat tertidur di pesawat dan di bus menuju Bogor, bahkan berhari-hari setelah saya tiba di Bogor. Pulau Ndana, terima kasih atas 10 hari yang menyenangkan di tanahmu.

 

 

Reyna Ashari

UKF/DKB/06-137

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *