BERJUMPA DENGAN SATWA ARTIODACTYLA PADA SAFARI LIAR DI PULAU PANAITAN, TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

Jika teman-teman tertarik untuk merasakan sensasi mengunjungi taman safari dengan cara yang sedikit lebih ekstrem, mungkin kalian dapat mencoba mendaftarkan diri dalam kegiatan Ekspedisi Global Uni Konservasi Fauna tahun depan, tentu dengan syarat kalian adalah mahasiswa aktif IPB University. Ekspedisi Global (EG) merupakan serangkaian kegiatan jelajah yang berfokus pada inventarisasi satwa. Tahun ini, EG dilaksanakan di Pulau Panaitan, Taman Nasional Ujung Kulon. Pulau Panaitan berada di perbatasan paling barat Taman Nasional Ujung Kulon. Dibanding pulau-pulau sebelahnya seperti Pulau Peucang, tidak banyak penelitian yang dilakukan di pulau tersebut. Apalagi setelah tsunami yang menghantam bagian utaranya pada tahun 2018. 

Pada EG kali ini saya dan tim Divisi Konservasi Herbivora memiliki misi mendata 4 spesies Artiodactyla atau mamalia herbivora berkuku genap yang menghuni Pulau Panaitan, yaitu rusa timor (Cervus timorenss), kijang muncak (Muntiacus muntjak), pelanduk jawa (Tragulus javanicus), dan babi hutan (Sus scrofa vittatus)

Kembali bicara tentang bersafari, saya dan tim memulai ‘safari liar’ kami setiap pukul 06.00, 15.00, dan 21.00 WIB. Membekal sebuah kamera, buku catatan, sebatang pensil, dan headlamp kami melakukan perjalanan menyisir jalur pengamatan sambil tolah-toleh mengamati sekitar. Masa pengamatan tidak dibatasi waktu pada sesi pagi, sore maupun malam, namun waktu pengamatan rata-rata dilakukan selama dua jam.

Kami melakukan safari di bagian selatan dan utara Pulau Panaitan. Pada bagian selatan Pulau Panaitan, Legon Butun, merupakan habitat hutan pantai dengan tajuk pepohonan yang tidak terlalu lebat dan kontur tanah yang cukup curam. Angin pantai yang kuat hampir setiap jam menerpa wilayah ini, sehingga beberapa kali membuat kami kewalahan ketika bekerja di campsite. Sedangkan di bagian utara pulau, Legon Kadam, tersusun atas hutan primer yang tajuk pepohonannya sangat rapat dan didominasi tumbuhan langkap. Hutan di Legon Kadam memiliki lebih banyak aliran air dan kubangan sehingga kadar kelembapanya cenderung lebih lebih tinggi dibandingkan Legon Butun yang lebih dekat dengan pesisir pantai. Akan tetapi, hanya Legon Butun yang memiliki padang pengembalaan. Tempat ini menjadi lokasi kumpul satwa seperti rusa untuk mencari makan. 

Padang pengembalaan, Legon Butun, lokasi kami bertemu dengan puluhan ekor rusa Timor yang sedang makan. Foto: Ratu/UKF

Berbeda dengan di taman safari, di alam liar tidak ada papan penanda atau pagar pembatas yang memperingati atau melindungi kami dari apapun yang bersembunyi di balik semak maupun dari atas pepohonan. Semuanya serba kejutan!

Perjumpaan dengan satwa liar sungguhan tentu menorehkan kesan berbeda dibandingkan perjumpaan dengan satwa liar di taman safari. Itulah yang membuat pengalaman ‘safari liar’ ini semakin menarik, terutama tiap momen menyaksikan reaksi para satwa yang begitu alami dan terkadang cukup menggelitik. 

Pada kasus rusa timor (Cervus timorensis), ketika berjumpa dengan tim pengamat, satwa tersebut tidak langsung lari, melainkan diam mematung, memandang kami dengan tatapan waspada. Mereka berusaha ‘menyembunyikan’ tubuh mereka di balik batang pohon kurus, lantas mengintip dari percabangan atau dedaunannya. Barangkali mereka berpikir, jika mereka tidak bisa melihat kami, lantas kami pun tidak dapat melihat mereka. Pernah sekali, ketika pengamatan malam di Legon Kadam, kami dikejutkan sebuah perjumpaan dengan seekor rusa jantan bertubuh besar (hampir sebesar kuda). Matanya menyala, memantulkan cahaya headlamp kami. Cukup lama kami dan si rusa besar bertatapan, hingga akhirnya satwa tersebut lari dan membuat kami sekali lagi terkejut.

Seekor rusa timor betina ‘menyadari’ kahadiran tim pengamat. Foto: Meganovich/UKF

Kijang muncak (Muntiacus muntjak) memiliki cara yang lebih ekstrem. Pendengaran kijang muncak sangat tajam, cukup sulit mengamati mereka dari jarak dekat. Kijang muncak dapat dengan mudah menyadari keberadaan tim pengamat, bahkan sebelum melakukan kontak mata satwa ini sudah langsung terbirit-birit. Menariknya lagi, satwa kijang muncak tidak hanya lari, melainkan juga berteriak-teriak dengan suara yang mirip gonggongan. Di hutan yang sunyi itu, jeritan kijang muncak yang panik menggema kemana-mana, ironisnya justru mengumumkan keberadaan mereka kepada para predator.

Seekor kijang muntjak, sebelum lari dan ‘menggonggong’. Foto: Meganovich/UKF

Babi hutan (Sus scrofa vittatus) jauh lebih pemalu. Walau perawakannya seram, babi hutan cenderung lebih suka menghindar diam-diam ketika merasa terinstrupsi oleh keberadaan manusia. Jika panik, mereka hanya akan menguik sekali lantas bergegas menyingkir dari lokasi.

Pelanduk jawa (Tragulus javanicus) cukup sulit diprediksi. Pada perjumpaannya, pelanduk jawa cenderung ditemukan soliter (sendiri), kadang satu-dua bersama anaknya. Ketika merasa terancam atau terkejut dengan kehadiran tim pengamat, pelanduk jawa biasanya akan segera lari melompat-lompat atau menyusup masuk ke dalam semak. Akan tetapi, pada beberapa kesempatan, tim kami mendapati momen perjumpaan dengan individu pelanduk jawa yang merespons pasif. Seolah sistemnya mengalami lag, mereka membeku di tempat. 

Pelanduk jawa yang dipotret menggunakan kamera handphone. Foto:Aqillah/UKF

Lewat tulisan ini, saya bermaksud mengajak Anda berpikir dan merenungi bagaimana satwa-satwa di alam liar memiliki berbagai cerita kehidupan yang berharga dan menarik untuk dipelajari. Untuk itu satu-satunya cara agar saya, Anda, dan anak-anak mempunyai kesempatan untuk menikmatinya adalah dengan bersama mempertahankan keberadaan serta sifat liar para satwa tersebut.

Uni Konservasi Fauna –

Selamatkan Fauna Indonesia –

Tinggalkan Balasan