Beautiful Plants For Your Interior

“Nyebur Dek! Ini bukan kota, Jangan manja!”, Itulah greeting untuk kedatangan Kami, Tim Ekspedisi Batas Negeri UKF IPB P. Ndana, Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur. Walau terkesan benada keras, bisa jadi itu sambutan terbaik untuk Kami. Kedatangan Kami ini, dapat dikatakan tamu berharga untuk anggota TNI AL dari POS Angkatan Laut (POS AL)-para punggawa depan di Batas Paling Selatan Negara kita. Bagaimana tidak, para abdi negara itu ternyata sudah menunggu kedatangan kami dari siang hari-bahkan sejak setengah bulan yang lalu. Ibarat pengobat kesepian, kami disambut dengan sumringah-walau tetap saja kegarangan mereka tidak bisa ditutupi. Saat menyambut, seragam mereka tidak seperti biasanya memakai seragam prajurit. Kali ini mereka bercalana pendek tanpa alas kaki dengan gesit membantu menuntun Kami dan menurunkan barang-barang dari perahu. Tak mau kalah Kami pun satu persatu “nyebur” dengan menenteng barang bawaan. Terik memang, mungkin itulah kenapa para punggawa perbatasan itu meneriakkan isyarat bahwa tidak ada tempat untuk orang manja dan bermalas-malasan di pulau ini.
Tepat tanggal 5 Februari 2014, tercatat kaki menapakkan kaki di P. Ndana. Seperti banyak orang, awalnya Kami hanya tahu batas paling selatan Indonesia adalah P. Rote. Ternyata tidak. Pulau Ndana lah yang secara geografis menjulang paling selatan. Mungkin itu juga yang dialami para penjaga perbatasan yang sekaligus satu-satunya tuan rumah Kami di sana. Tidak banyak orang yang tahu tugas dan betapa sepinya hari-hari mereka. Bukan hanya karena tugas, namun lebih menaruh pengabdian kepada tanah air, mereka sanggup bertahan bertahun-tahun di P. Ndana, pulau tak berpenghuni. Sebenarnya sekali bertugas, mereka hanya diharuskan tinggal enam bulan, namun semua orang tahu betapa ganasnya laut Indonesia timur sehingga kepulangan mereka ke kampung halaman kerap kali tak menentu.
Berkaca dari naasnya keberadaan mereka, Kami meyakini semesta memang mendukung perjalanan ini. Kapal yang kami naiki, bukanlah sembarang kapal. Adalah KRI Singa-kapal perang capat yang hanya dimiliki 2 unit oleh TNI AL yang mengantarkan kami menembus Samudera Hindia hingga ke P. Ndana. Dan benar saja, sebelumnya diberitakan bahwa BMKG setempat mengumumkan bahaya melaut selama seminggu karena badai yang disertai gelombang hingga 4-6 meter. Hal itu berimbas terhadap penyebrangan di NTT. Seluruh penyebrangan baik kapal besar maupun kecil ditutup hingga lebih dari satu minggu. Beruntung sekali hari itu Kami dapat bertolak dari kupang menunu P. Ndana. Dan tentunya alam memberkati dengan menurunkan tensinya hari itu.
Tidak lebih dari 1500-an Ha, P. Ndana muncul akibat proses tektonik. Nampak jelas karang-karang dan formasi kehidupan bawah laut membatu terangkat hingga ketinggian 48 mdpl. Daratan yang terangkat membawa serta air laut yang berada di tengah pulau-yang oleh banyak penduduk sekitar diberi nama Danau Merah. Sebenarnya sebelumnya terdapat pemukiman di P. Ndana. Hingga abad ke XII Kerajaan Thie yang berpusat di P. Rote menguasai pulau ini sebelum terjadinya peristiwa berdarah-pembantaian masal penduduk P. Ndana. Sisa-sisa pemukiman memang hampir melapuk dan sulit dideteksi-walaupun tentunya ini adalah lumbung studi bagi para arkeolog dan antropolog. Hal yang masih nampak jelas adalah pondasi-pondasi rumah yang telah membatu tertata rapi dengan tegakan yang dulunya diduga tegalan di setiap rumah.
Betapapun banyaknya cerita rakyat yang diujukan pada Ndana, sayang sekali rekaman aktivitas sejarah Ndana tidak dibarengi dengan tinjuan kekayaan hayati yang sejatinya masih eksis hingga saat ini. Mengagumkan memang, Ndana, pulau ini memang menyimpan beragam jenis flora fauna. Dari tinjauan satelit, Ndana terlihat seragam. Dan itu belum terbantahkan hingga akhirnya Kami menelanjanginya sendiri. Setidaknya tercatat 66 jenis burung, 70 jenis insekta, 11 reptil, 3 jenis mamalia yang membuat Ndana tersolek cantik. Jumlah itu belum ditandingi biota laut yang sungguh mengagumkan. Dipantai saja lomang-sebutan untuk kepiting pantai-kerap kali bergerak kesana kemari menyarukan diri dengan putihnya pantai. Kurang dari seminggu, tiap harinya kami disuguhkan cuaca, pemandangan, dan sudah tentu nyentriknya aktivitas satwa. Menyengatnya suhu siang hari hingga mencapai 35 oC yang dapat membakar kulit, membuat riuhnya menjadi naungan yang pas. Namun tidak jarang, langit terik langsung berubah mengkelam. Saat-saat itu, tidak pernah kami sia-siakan untuk menampung satu-satunya sumber air tawar untuk minum.
Bentang pasir putih dan diikuti padang rumput meyuguhkan identitas keaslian NTT. Kami bukan satu-satunya yang menikmati padang rumput yang hampir setengah dari luas Ndana. Rusa timor, ditengah populasinya yang semakin menurun, telah lebih dahulu menggantungkan hidupnya dari padang rumput, selain ditentukan juga oleh para pemburu. Satwa lain yang tak kalah eksotik adalah Cikalang, salah satu jenis burung penjelajah antar benua. Ndana kerap kali jadi perisnggahan dan bahkan diduga telah menjadi tujuan untuk bersarang. Belakangan terdengan juga kabar keberadaan burung ini juga terancam keberadaannya akibat berkurangnya habitat singgah mereka. Ini memberikan arti untuk Ndana sebagai Pulau yang masih ramah dan penting bagi ratusan bahkan ribuan Cikalang yang tinggal ataupun sekedar singgah.
Tidak berlebihan sepertinya kami berbangga atas Ekspedisi Batas Negeri pertama ini. Kami dapat dikatakan satu-satunya yang telah mengadakan penelitian secara komprehensif atas P. Ndana. Ratusan jenis satwa yang memenuhi catatan perjalanan kami, mungkin saja tidak akan bersisa satupun jikalau perhatiannya masih setara dengan perhatian terhadap Ndana sebagai Pulau terpelosok, terpencil, dan tak berharga. Untuk itu menjadi harga mati bagi Ndana untu tetap eksis bukan hanya sebagai garda terdepan Negara Kesatuan Republik Indonesia tapi juga rumah untuk sebagian besar satwa eksotik.
Wahyu Iskandar