EKSPEDISI GLOBAL, PETUALANGAN KAMI DI PULAU PANAITAN

Dokumentasi sebelum keberangkatan. Foto: Adlan/UKF

Pada tanggal 29 Juni 2024, tepatnya pukul 01.06 WIB dini hari, dari dalam truk, kami melambaikan salam perpisahan terakhir kepada teman-teman yang menetap di Sekretariat UKF atau yang biasa kami sebut Shelter Anggriawan 2.0, IPB University. Kala itu, total ada tiga puluh Calon Anggota Baru (CAB) Unit Kegiatan Mahasiswa Uni Konservasi Fauna (UKM UKF) dan tiga pendamping yang berangkat menuju Taman Nasional Ujung Kulon, Provinsi Banten, Jawa Barat untuk melaksanakan Ekspedisi Global.  

Ekspedisi Global merupakan puncak kegiatan CAB dalam bentuk rangkaian pendidikan penelitian dan praktik bertahan hidup di alam liar. Beberapa tahun terakhir, Uni Konservasi Fauna selalu melakukan kegiatan Ekspedisi Global di daratan utama Taman Nasional Ujung Kulon, tahun ini adalah kali pertama Ekspedisi Global dilaksanakan di Pulau Panaitan, pulau paling barat dari kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Dalam perjalanan ini, kami mengambil tema survei keanekaragaman satwa (mamalia, burung, herpetofauna, insekta, serta fauna perairan) dan karakter habitat di Pulau Panaitan.

Rugi hitungannya apabila yang kami peroleh dari perjalanan ini hanyalah seonggok data. Sebuah perjalanan panjang selama 21 hari bersama 33 insan unik tanpa teknologi ataupun makanan enak pastilah menorehkan berbagai macam makna dan cerita. Catatan reportase Ekspedisi Global ini merangkum sebagian kecil dari itu. Setidaknya dari sudut pandang saya.

Salah satu yang kami pelajari dari Pulau Panaitan adalah seni menghormati sesuatu, bahkan jika sesuatu tersebut tidak terlihat. Pulau Panaitan memiliki budaya berupa pantangan atau pamali yang dipercaya oleh masyarakat Taman Nasional Ujung Kulon. Larangan duduk tanpa alas, memotong dahan atau ranting tanpa alat, buang air kecil sambil berdiri, berkata kasar, dan lain sebagainya. Meskipun terdengar seperti pamali biasa, namun mematuhinya berarti tidak sembarangan merusak tanaman, mengedepankan sopan santun, serta saling menghargai sesama makhluk hidup. Seperti kata pepatah “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”.

Ketika kami mulai membangun perkampungan kecil (baca: area perkemahan) di pesisir pantai Resort Legon Bajo, Legon Butun, disitulah permulaan dari keseruan kami bertetangga dengan monyet-monyet yang jahil, rusa yang penasaran, babi hutan yang pemalu, biawak yang selalu lapar, dan tertangga lain yang lebih suka bersembunyi. Tidak terhitung berapa kali kami berselisih dengan para monyet yang kerap mencuri barang-barang kami. Lengah sedikit, dua botol minyak hilang. Teman kami, Zafes, kehilangan empat bungkus mie instan, Akhmad berlari mengejar kotak makanannya yang digondol, dan banyak kasus lainnya. Saking seringnya bercengkerama dengan monyet-monyet itu, lama-kelamaan kami bisa membedakan mereka lantas kami namai monyet-monyet yang paling sering datang George, Bos Genk, dan Narji. Pengalaman tersebut juga memberikan pelajaran tentang betapa pentingnya kedisiplinan, kepedulian serta kerapihan. 

Salah satu tetangga jahil, Macaca fasicularis, Legon Butun. Foto: Meganovich/UKF

Interaksi kami dengan ‘para tetangga’ tidak hanya terjadi di campsite, namun juga sepanjang kegiatan pengamatan. Di mana kami memang sengaja bersilaturahmi dengan satwa-satwa penghuni Pulau Panaitan untuk didata. Berbagai cerita perjumpaan terjadi, ada yang bertemu dengan rusa raksasa, ular besar, kupu-kupu cantik, belut sebesar lengan orang dewasa, dan lainnya. Setiap pukul 19.00 WIB, kami akan berkumpul, membentuk lingkaran di tempat yang kami sepakati sebagai ‘ruang keluarga’. Beberapa orang akan makan, menyeduh minuman, menulis reportase serta kegiatan kecil lainnya. Inilah satu-satunya waktu berkumpul dan saling bertukar cerita, mengisahkan pengalaman seru masing-masing, karena di waktu-waktu lainnya kami semua kerap berpencar. Kegiatan ini kami sebut sharing and briefing. Boleh dibilang merupakan salah satu momen yang paling kami tunggu setiap harinya.

Terakhir, sebelum kembali ke daratan Pulau Jawa, kami melakukan upacara pelantikan anggota resmi Uni Konservasi Fauna angkatan ke-21 di pesisir pantai utara Pulau Panaitan, Legon Kadam. Mengejutkannya lokasi yang kami pilih ternyata merupakan habitat buaya muara (Crocodylus porosus).

Dokumentasi UKF angkatan 21 setelah upacara pelantikan yang ternyata berada di habitat buaya muara. Foto: Adlan/UKF

Dipikir-pikir, dari pada ‘membangun kampung kecil’, lebih tepatnya yang kami lakukan adalah ‘menginap’ di rumah para satwa. Maka sebagai tamu yang baik, meskipun kami tidak tahu mana yang merupakan ruang tamu, bilik mandi, ataupun dapur, sebisa mungkin kami tidak meninggalkan sampah, tidak mengotori sumber air ataupun merusak perabot rumah mereka.

Kami tidak melebih-lebihkan ketika mendeskripsikan betapa indahnya ‘rumah’ para satwa yang kami tumpangi di pulau itu. Bayangkan hamparan pasir bertabur kepingan kerang dan terumbu karang mati, deburan ombak-ombaknya yang bergelung-gelung. Kicauan berbagai jenis burung. Pepohonan yang batang, dahan, dan akarnya tumbuh meliuk-liuk, berbagai jenis warna hijau yang menyejukkan mata, juga gemerisik dedaunan yang tertiup angin. Salah satu bagian favorit kami menonton bagaimana layar angkasa yang berganti-ganti warna cantik keabuan hingga oranye ketika pagi, biru cerah ketika siang, perpaduan jingga, merah muda dan ungu menjelang sore, serta hitam dengan titik-titik terang pada malam hari.

Pemandangan di depan campsite, tempat kami menyaksikan langit berubah warna. Foto: Akhmad/UKF

Satwa-satwa itu tidak pernah sadar, bahwa atas kehadiran merekalah pulau rumah itu terbentuk dan terawat dengan kecantikan alami.

Kami berterima kasih kepada banyak pihak yang mendukung perjalanan kami, salah satuya Aliansi Lestari Rimba Terpadu (ALeRT) dan PT Biofarma. Keindahan yang demikianlah yang membuat kami menikmati kunjungan selama 21 hari di pulau kecil itu. Keindahan yang ingin selalu kami jaga. Keindahan yang ingin kami bagikan kepada keluarga, pembaca, dan semua anak-anak di masa depan. 

Uni Konservasi Fauna –

Selamatkan Fauna Indonesia –

Tinggalkan Balasan