Monitoring Pasca Release Joni si Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) di PT. ANTAM UBPE Pongkor, Bogor

Memang tidak mudah melakukan release (pelepasliaran kembali pada habitat aslinya) baik itu burung elang maupun satwaliar lainnya. Perlu banyak persiapan yang harus dilakukan, mulai dari persiapan lokasi release yang sebelumnya harus di survey terlebih dahulu apakah lokasi tersebut cocok atau tidak yang dinilai dari karakteristik habitat, ketersediaan potensi pakan, dan biasanya juga dilihat dari populasi spesies sejenis yang menempati lokasi tersebut untuk menghidari persaingan. Selain itu, juga perlu dilihat kondisi terakhir dari satwa tersebut apakah memang sudah layak untuk direlease. Proses release juga panjang dan cukup rumit, masalah yang sering timbul yaitu satwa hasil release biasanya sudah terbiasa dengan manusia sehingga tidak takut bahkan terkadang malah mendekati lingkungan manusia (perkampungan) terdekat, lebih lanjut lagi kondisi tersebut membahayakan bagi satwa itu sendiri karena satwa tersebut akan mudah ditangkap oleh penduduk atau mungkin pemburu. Pada akhirnya perlu dilakukan monitoring pasca release untuk memantau eksistensi satwa setelah dilepasliarkan kembali di habitat alaminya.

Elang jawa (Spizaetus bartelsi) yang direlease kali ini sebelumnya telah menjalani masa karantina di Suaka Elang selama kurang lebih 2 tahun. Selama dalam masa karantina telah banyak dilakukan perlakuan-perlakuan agar elang tersebut bisa hidup secara liar kembali jika direlease nantinya. Elang jawa ini berjenis kelamin jantan dan umurnya juga sudah dewasa (adult).

Kegiatan monitoring pasca release dilakukan selama 2 minggu mulai tanggal 28 Desember 2010 – 12 Januari 2011 di TN Gunung Halimun Salak daerah Gunung Pongkor dan sekitarnya yang saat ini pada lokasi tersebut beberapa arealnya dipinjam pakai untuk kegiatan penambangan emas oleh PT. Aneka Tambang yang ijinnya akan berakhir pada tahun 2015 nanti. Kegiatan penambangan emas di Pongkor dilakukan dengan sistem penambangan tertutup yaitu dengan membuat tunnel (terowongan) bawah tanah yang saling tehubung dan langsung mengarah ke pabrik. Kondisi vegetasi pada kawasan ini juga masih bagus, meskipun terlihat beberapa bukit longsor akibat penambangan illegal yang dilakukan oleh masyarakat.

Terakhir terlihat si Joni (nama Elang jawa yang direlease kali ini) terbang ke arah Cadascopong (tanggal 27/12/2010) sesaat setelah release. Tim Gelombang pertama (bagian habituasi dan release) mengikuti pergerakan Joni menuju ke arah selatan (Cadascopong) dan terakhir kali terlihat sedang soaring jam 14.00 WIB. Pada hari itu juga tim gelombang pertama turun dan ganti shift dengan tim gelombang 2 (bagian monitoring pasca release), tim gelombang pertama (berjumlah 4 orang) seluruhnya turun. Keesokan harinya (28/12/2010) Kami ber-5 sebagai tim gelombang 2 (saya, pakdhe, tika, bagus, dan habibah) mencoba menelusuri ke arah Cadasc

opong dan melakukan pengamatan di tanah lapang yang tidak begitu luas yang berada di balik bukit, sehingga arah pandang cukup luas ke arah selatan dan barat. Kami mencoba searching menggunakan binoculer dan monoculer pada pohon-pohon tinggi yang terletak di lereng bukit, dengan harapan dapat menemukan si Joni sedang bertengger (perching) dan mengamati dengan seksama setiap ada elang yang soaring, namun sekian lama mencari dan menanti (mulai jam 08.00 – 14.00) kami semua tidak menjumpai si Joni. Si Joni dapat dikenali melalui tanda (wing marker) yang dipasang di sayap bagian kiri, tanda tersebut berwarna putih sehingga sangat mencolok dan bertuliskan kode SE 4. Sewaktu bertengger ataupun terbang tanda tersebut masih bisa terlihat.

Hari berikutnya kami mencoba menggali informasi kepada masyarakat sekitar dan para karyawan PT. ANTAM mengenai keberadaan Joni. Beberapa orang mengaku pernah melihat elang terbang rendah dan terlihat agak jinak di level 600 yang letaknya sekitar 2 km dari lokasi release, dan akhirnya kami mencoba menelusuri ke sana, setelah melakukan pengamatan intensif ternyata kami juga tidak menemukan Joni. Kami menemukan jenis elang hitam (Ictinaetus malayensis) dan elang ular bido (Spilornis cheela) terbang rendah di lokasi tersebut (level 600) dan akhirnya kami menyimpulkan bahwa  elang tersebut yang kemungkinan dilihat oleh karyawan tadi. Kami sempat juga menemukan elang jawa sedang soaring tinggi di level 600 namun setelah dilihat sayap bagian kirinya tidak terdapat wing marker berwarna putih yang menadakan itu bukan Joni yang sedang kami monitoring. Elang yang baru release biasanya belum berani untuk terbang tinggi dan cenderung lebih pendiam dan bertengger dalam waktu yang lama sebagai upaya penyesuaian diri.

Kami terus berupaya menggali informasi kepada masyarakat mengenai keberadaan Joni, beberapa orang mengaku melihat elang jawa dengan warna putih di sayapnya terbang di sekitar kampung Kopo yang letaknya sekitar 500 m dekat lokasi release. Saya sempat tidak yakin dengan informasi tersebut, akhirnya saya bertanya kepada bapak itu “apa ciri-cirinya elang jawa yang bapak lihat???”. Bapak itu menjawab “Warnanya cokelat dan punya jambul” jawabnya, lalu bapak itu menambahkan “saya sudah biasa mas lihat burung itu di gambar-gambar dan poster”, “mirip seperti yang di poster” jawabnya lagi. Sebelumnya memang tim gelombang pertama sempat melakukan sosialisasi tentang kegiatan release ini dan membagikan poster tentang elang jawa kepada masyarakat sekitar. Akhirnya pengamatan berikutnya difokuskan di sekitar kampung Kopo. Agar lebih efisien akhirnya kami dibagi menjadi 3 tim dengan plot lokasi pengamatan yang agak berjauhan. Setelah melakukan pengamatan, kami belum juga menemukan titik cerah keberadaan Joni, yang kami amati lagi-lagi Elang hitam (Ictinaetus malayensis) dan elang ular bido (Spirlornis cheela) yang juga sering terbang rendah.

Keesokan harinya ada kabar menggembirakan, ketika kami mencoba bertanya kepada ibu Udin pemilik warung yang dekat dengan lokasi release, ”Bu, lihat elang jawa yang dilepas kemarin tidak?” Tanya kami. “Wah…. Tadi jam 7 ada di pohon ini mas… tengger di situ” jawab bu Udin sambil menunjuk pada pohon puspa (Schima wallichi) yang terletak tidak jauh dari warungnya. Ketika itu kami mulai pengamatan pada pukul 09.00 WIB. Mendengar informasi tersebut kami semakin yakin dan semangat untuk bisa menemukan Joni hari ini, seperti biasa kami kembali dibagi menjadi 3 tim dan mencoba mengeksplorasi daerah sekitar, namun cuaca kurang mendukung, lebih sering mendung bahkan terkadang hujan dan pada akhirnya kamipun menghentikan pengamatan.

Sampai hari terakhir pengamatan pun kami belum bertemu Joni, akhirnya kami harus turun dan akan ganti shift dengan tim gelombang ke-3 dengan misi yang sama yaitu memonitoring si Joni Elang Jawa yang telah direlease. Lalu pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana nasib Joni sekarang??? Apakah dia masih bisa bertahan di habitat alaminya yaitu di hutan primer perbukitan atau tersingkir ke daerah perkampungan? Tim gelombang ke-3 mudah-mudahan bisa menemukan si Joni dan menjawab pertanyaan itu

Hal yang bisa diambil sebagai pelajaran dari kegiatan ini, bahwa mengamati elang merupakan suatu seni dan membutuhkan pengalaman, bukan hal mudah untuk bisa menemukan elang sedang bertengger di antara tutupan tajuk  vegetasi hutan alam yang masih rapat. Siapapun bisa meningkatan kemampuan dengan terus berlatih dan sering melakukan pengamatan. Satu hal lagi yang perlu menjadi pelajaran adalah kegiatan release satwaliar merupakan pekerjaan yang cukup sulit dan tingkat keberhasilannyapun masih susah untuk ditentukan karena sebenarnya banyak aspek ekologi yang cukup rumit dan kemungkinan masih luput dari pengetahuan kita. Lebih baik mencegah daripada mengobati, mungkin menjadi semboyan yang tepat untuk pergerakan kita ke depan untuk terus menjaga kekeyaan fauna Indonesia. (Nank KH)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *