Beautiful Plants For Your Interior


Di tengah-tengah masa Ujian Tengah Semester (UTS), salah seorang teman kami dari Divisi Konservasi Burung (DKB) Uni Konservasi Fauna (UKF), Akbar UKF angkatan 18, berpapasan dengan sebuah postingan di platform Instagram @swaraowa yang merupakan pengumuman dan pendaftaran Petungkriyono Bird Race 2022. Sontak Akbar dengan penuh antusias membagikan informasi ini, mengajak sesama teman DKB untuk ikut berpartisipasi, namun sayangnya perhelatan Bird Race ini diadakan pada hari kerja dimana kami masih ada perkuliahan. Sempat berpikir dua kali mengingat pengurusan dan birokrasi perizinan yang cukup rumit dan memakan waktu lama, kami tetap nekat untuk mendaftar. Bukannya membawa senang, malah membawa duka mendengar informasi bahwa kuota tim kategori mahasiswa sudah penuh. Tak ikhlas Akbar segera menghubungi pihak terkait mengenai status tim kami dan ternyata tim DKB UKF masih berada dalam waiting list. Hingga beberapa hari kemudian kami menerima kabar bahwa DKB UKF sudah menjadi peserta Petungkriyono Bird Race 2022, tentu kabar ini harus tersiar di gunung, bukit, dan dimana jua.
UTS berlalu, perkuliahan datang kembali, penuh semangat kami berdinamika di kampus tercinta hingga tiba waktunya kami berangkat menuju KPH Perhutani Pekalongan, meeting point para peserta sebelum di mobilisasi Akbar menuju Petungkriyono. Berangkat menggunakan bus di kala senja sudah tertidur, kami sampai di Pekalongan sebelum matahari kembali menunjukan wajahnya. Menunggu pagi datang, kami duduk sejenak mencari posisi ternyaman setelah badan sudah terlipat 9 jam lamanya, sampai datangnya panitia memberi arahan untuk bersiap berangkat menuju lokasi perlombaan. Kurang lebih pukul 08.30 WIB, kami diberangkatkan menuju lokasi perlombaan dengan dua mobil tempur terbuka, melewati seluk beluk Kota Pekalongan hingga hanya terlihat semak dan pohon hijau Petungkriyono. Satu dua jam perjalanan kami sampai, akhirnya terpampang jelas di sebelah kiri jalan, banner selamat datang bagi para peserta Petungkriyono Bird Race 2022 yang menandakan kami telah tiba di lokasi perlombaan.
Daerah petungkriyono sendiri merupakan daerah hutan sekunder yang merupakan hutan produksi terbatas yang masih mempertahankan bentuk alaminya. Terdapat beberapa komunitas tanaman produksi dan juga persawahan yang membuat lokasi bisa dibilang merupakan salah satu bentuk agrowisata. Lokasi perlombaan tepatnya berada pada ekowisata Black Canyon, yang sudah cukup populer di daerah Jawa Tengah dan sekitarnya. Kami langsung disuguhi dengan pemandangan perbukitan dan lembah yang hijau membentang sepanjang mata memandang. Turunnya kami dari mobil, langsung diarahkan ke ruang sarasehan untuk merapikan logistik dan mulai membangun tenda, tempat kami bertemu dengan mimpi dua hari ke depan. Acara siang itu dimulai dengan upacara pembukaan kemudian dilanjut dengan sarasehan, bincang bincang santai mengenai konservasi di daerah Petungkriyono oleh Perhutani dan Direktur SwaraOwa.
Petungkriyono sendiri sebelumnya merupakan kawasan hutan yang marak akan perburuan satwa baik dari internal maupun eksternal. SwaraOwa bersama pemerintah setempat berusaha mengubah pandangan masyarakat bahwa satwa dapat memberikan keuntungan seiring dengan pelestariannya, bukan hanya dengan cara ekstraktif. Hingga akhirnya perubahan mulai terlihat di Petungkriyono yang sudah mulai mengedepankan sisi ekowisata sebagai salah satu kekuatan ekonomi, didukung juga dengan peran pemerintah dan LSM yang ikut membantu mengembangkan dan mensosialisasikan kepada masyarakat. Rangkaian acara sarasehan selanjutnya harusnya dilanjutkan hingga suntuk malam tapi sayangnya hujan lebat dan petir yang tak berhenti mengunjungi membuat acara harus dihentikan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Akhirnya hanya diadakan briefing singkat untuk perlombaan besok dan para peserta dipersilahkan untuk beristirahat, mempersiapkan diri untuk merebut juara esok hari.
Bird Race kali ini memang cukup berbeda, dibungkus dengan cara yang cukup unik tak hanya sekedar melakukan pengamatan burung di alam. Terdapat beberapa pos yang tersebar di daerah perlombaan yang menjadi objektif untuk mengumpulkan poin selain dari temuan jenis selama pengamatan. Selain itu ketepatan dan kecepatan dalam melakukan tugas di pos juga masuk dalam penilaian sehingga dibutuhkan perencanaan dan strategi yang matang sehingga bisa mencapai efisiensi waktu namun tetap presisi. Pertandingan dimulai di pagi hari dengan hal yang tidak terduga, yaitu kami diminta menghitung pohon ketapang di daerah Black Canyon untuk mendapat panduan pos, tiket pos, dan juga sarapan pagi. Belum apa-apa kami sudah kelelahan dengan tantangan ini dan waktu terbuang cukup banyak yang cukup membuat was-was, setelah berhasil menebak kita melanjutkan pengamatan dan mengerjakan tugas di pos-pos terdekat. Pengamatan sudah berjalan cukup lama namun list jenis di buku catatan masih terpaut sedikit, burung-burung yang diharapkan tak kunjung menampakkan diri bahkan untuk bernyanyi pun mereka sungkan. Akbar kesal dan mengeluh sontak menceritakan pengalamannya menemukan kawasan serupa, nampak berpotensi namun nyatanya sepi. Kami menyebutnya “silent forest”, kanker ekologis dimana segala kebutuhan burung tercukupi di suatu kawasan hutan tetapi justru berbanding terbalik dengan keberadaan satwanya.
Setengah hari kami melakukan pengamatan dan menyelesaikan misi sudah saatnya kami mendatangi garis finish menyudahi pertandingan kami. Walau tak sesuai ekspektasi besar harapan kami untuk membawa pulang trofi ke Shelter Anggriawan UKF. Selesai pertandingan kami para peserta beristirahat, makan siang, berkenalan, berbincang dan saling berbagi mengenai pengalaman masing-masing sampai tibanya acara sarasehan selanjutnya mengenai Aviturisme yang dibawakan Mas Kukuh yang biasa hanya kami lihat melalui media sosial dan sekarang bisa melihat langsung. Mas Kukuh menceritakan bagaimana Aviturisme sudah berkembang pesat di Indonesia dan bagaimana kita sebagai konservasionis memanfaatkan kesempatan bukan hanya dari aspek konservasi namun juga dari aspek ekonomi. Kemudian acara dilanjut dengan bedah soal pada perlombaan dan juga sarasehan mengenai ekowisata dan recap mengenai seluruh sarasehan yang sudah kami lalui oleh penggagas Desa Ramah Burung Jatimulyo, Pengelola ekowisata Welo Asri dan CEO Burungnesia. Masing masing pemantik obrolan malam tersebut menceritakan bagaimana mereka berupaya untuk melakukan konservasi burung dan habitatnya dengan cara yang dapat mereka lakukan. Belum merasa cukup acara berlanjut lagi dalam malam keakraban dimana peserta, panitia dan siapa saja berbincang mengenai kesan pesan perlombaan, dunia perburungan, hal pribadi, apapun itu yang bisa menjadi bahan perbincangan yang menjadi media untuk mengakrabkan kami antarindividu. Sampai suntuk malam kami bertukar pikiran sudah saatnya untuk beristirahat.

Pagi-pagi sinar mentari mendatangi, kami para peserta diberikan kesempatan untuk melakukan pengamatan bebas. Kembali menyusuri jalur perlombaan namun dengan tujuan yang berbeda. Kami mencoba memotret burung-burung yang sempat kami temui kemarin dan mencari salah satu burung primadona Petungkriyono yaitu Blue-banded Kingfisher atau raja udang kalung biru yang memiliki status Critically Endangered (CR) menurut IUCN. Tapi apa daya jika sang pujaan tidak mau menampakkan diri, kita para pengamat hanya bisa pasrah berharap bisa bertemu di lain waktu. Sudah waktunya kembali dan sudah saatnya pengunguman juara sekaligus menutup rangkaian acara Petungkriyono Bird Race 2022. Hati yang sudah tidak tenang menunggu pengumuman juara, berharap bisa menjadi satu dari tiga juara harus dikecewakan karena tim DKB UKF belum berhasil merebut posisi juara. Tim DKB UKF menduduki posisi ke empat hanya terpaut beberapa poin dari posisi ketiga. Namun hal ini tidak mematahkan semangat kami untuk terus dinamika malah menyulut api semangat untuk terus belajar dan belajar, menjadi bekal pelajaran untuk Bird Race selanjutnya. Sesudah ditutupnya acara, sudah saatnya kami berpisah dengan asrinya Petungkriyono, kembali ke KPH Perhutani Pekalongan dan pulang ke tempat masing-masing.

Sungguh pengalaman yang luar biasa bertemu dengan para penggiat burung yang sama gilanya, yang sama antusiasnya. Penuh ilmu yang kami dapatkan, banyak relasi yang kami bangun, dan semoga kedepannya konservasi burung di Indonesia bisa terus berkembang dan lestari. Terakhir, suguhan gorengan dan teh manis hangat selama berkegiatan menjadi pelengkap suasana kondisi hujan serta keindahan lanskap Kawasan Petungkriyono. Salam fauna, salam manukers.
Penulis: Kevin Timothy
Selamatkan Fauna Indonesia
– Uni Konservasi Fauna –